Warga Karawang Divonis 3 Bulan karena Kritik Dana CSR BUMDes
Solusi Berita
KARAWANG | Yusuf Saputra, warga Karawang yang dikenal dengan sebutan “Lurah Gudel”, dijatuhi hukuman tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Selasa (24/6/2025). Ia dinyatakan bersalah karena mengkritik pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) oleh BUMDes Pinayungan melalui media daring pada 2023.
Kasus ini mencuat setelah kuasa hukum Kepala Desa Pinayungan melaporkan Yusuf ke Polres Karawang. Meski kritik tersebut dimuat dalam produk jurnalistik, yang seharusnya dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, aparat penegak hukum memilih menjerat Yusuf dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah.
Proses hukum berjalan panjang dan melalui lebih dari belasan kali persidangan. Bahkan wartawan yang menerbitkan pernyataan Yusuf ikut diperiksa sebagai saksi di pengadilan.
Kuasa hukum Yusuf, Simon Fernando, SH, menyatakan keberatan atas putusan majelis hakim. Ia menyebut vonis tersebut bermasalah secara hukum dan melemahkan prinsip perlindungan kebebasan pers.
“Ada beberapa hal yang janggal. Pertama, barang bukti tidak lengkap karena ada bagian kalimat dalam berita yang dihilangkan. Kedua, pernyataan klien kami masuk dalam karya jurnalistik yang seharusnya tunduk pada UU Pers, bukan UU ITE. Ketiga, pelapor adalah kepala desa dalam kapasitas jabatan, padahal secara hukum hanya individu yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik,” kata Simon.
Ia juga mengutip nota kesepahaman antara Kementerian Kominfo, Polri, dan Kejaksaan Agung yang menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak termasuk objek hukum yang dapat diproses dengan UU ITE.
“Fungsi peradilan adalah mencari kebenaran materil, bukan semata-mata menjatuhkan hukuman. Karena itu, seharusnya Yusuf dibebaskan atau minimal dinyatakan tidak bersalah,” tambahnya.
Kasus ini menuai sorotan luas dari kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan berekspresi. Banyak yang khawatir, putusan tersebut bisa menjadi preseden berbahaya bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.