Tunjangan Fantastis DPR Jadi Polemik, Publik Pertanyakan Keadilan Pajak
Solusi Berita
KARAWANG | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diketahui mendapatkan berbagai fasilitas dari negara, termasuk tunjangan pajak penghasilan (PPh). Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menilai kebijakan fiskal tersebut menyalahi prinsip keadilan perpajakan karena PPh anggota dewan ditanggung negara melalui tunjangan pajak.
“Seharusnya, pajak penghasilan ditanggung oleh wajib pajak. Namun dalam praktiknya, pajak anggota DPR dibayar negara. Artinya, secara substansi mereka tidak membayar pajak,” ujar Media, Kamis (21/8/2025). Ia menilai kebijakan ini tidak adil dibandingkan dengan pekerja swasta yang semua tunjangannya tetap dikenakan pajak. Media mencontohkan Australia, di mana pejabat tetap membayar pajak sebagaimana warga biasa.
Menurutnya, penggunaan uang negara untuk membayar kewajiban pajak anggota dewan tidak hanya soal nominal, tetapi juga berimplikasi pada moral dan psikologis. “Jika fasilitas ini dicabut, DPR dapat memberi teladan dengan menanggung beban pajak sebagaimana rakyat. Itu akan meningkatkan legitimasi politik dan memperbaiki citra,” tegasnya.
Isu tunjangan DPR belakangan menuai sorotan publik setelah terungkap adanya tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Dengan gaji pokok serta berbagai tunjangan lain, anggota DPR bisa mengantongi penghasilan resmi di atas Rp100 juta per bulan.
Dalam aturan, setiap anggota DPR sedikitnya menerima Rp54 juta per bulan di luar tunjangan rumah, perjalanan dinas, serta dana ke daerah pemilihan. Rinciannya antara lain tunjangan jabatan Rp9,7 juta, tunjangan komunikasi Rp15,5 juta, tunjangan kehormatan Rp5,58 juta, bantuan listrik dan telepon Rp7,7 juta, serta tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp2,6 juta.
Menanggapi polemik ini, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan telah melalui kajian sesuai harga tanah dan properti di Jakarta. “Anggota DPR berasal dari berbagai daerah, sementara kantor ada di Jakarta. Jadi fasilitas rumah dinas yang sudah diserahkan ke negara diganti dengan tunjangan rumah,” ujarnya di Senayan, Kamis (21/8/2025). Ia menepis isu kenaikan gaji pokok, menegaskan yang berubah hanya fasilitas perumahan.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan urusan tunjangan rumah sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Ia menjelaskan perubahan tersebut terkait dengan peralihan fasilitas rumah jabatan di Kalibata yang tidak lagi ditempati anggota DPR.
Adapun Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menambahkan, gaji pokok anggota DPR tidak mengalami kenaikan selama 15 tahun terakhir. Namun, ada penyesuaian tunjangan agar sesuai kebutuhan saat ini. Dengan berbagai fasilitas yang melekat, total penerimaan anggota dewan bisa mencapai hampir Rp70 juta per bulan. (D/S)