The Economist Soroti Populisme Ekonomi Prabowo dan Perbedaan dengan Sang Ayah
Solusi Berita
KARAWANG | Media internasional The Economist menyoroti sejumlah program Presiden Prabowo Subianto, seperti Koperasi Desa dan Danantara, yang dinilai berseberangan dengan prinsip ekonomi ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo. Dalam artikel berjudul “Indonesia’s new president has daddy issues” yang terbit Jumat (15/8/2025), Prabowo disebut pernah menyampaikan kepada adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bahwa kini ia dapat menjalankan program dan mimpi sang ayah.
Sumitro, yang dikenal sebagai arsitek pembangunan Indonesia pascakemerdekaan dan pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, diyakini The Economist akan terkejut jika melihat populisme ekonomi yang diklaim sebagai warisannya. Selama kariernya, Sumitro selalu menekankan disiplin fiskal, kebijakan berbasis bukti, dan penguatan institusi.
Program makan siang gratis senilai US$28 miliar per tahun menjadi salah satu contoh intervensi besar yang dinilai bertentangan dengan peringatan Sumitro. Menurut ekonom Arianto Patunru dari Australian National University, masalah gizi di Indonesia lebih pada kualitas makanan, sehingga intervensi ideal adalah membantu ibu hamil dan balita, bukan mengalihkan sumber daya ke program makan untuk murid sekolah.
The Economist juga membandingkan pandangan Sumitro soal koperasi dengan program Koperasi Merah Putih Prabowo. Sumitro mendukung koperasi sebagai sarana pembangunan berbasis lokal, sementara program baru ini justru menetapkan model seragam untuk 80.000 koperasi di seluruh Indonesia, yang menurut analis politik Kevin O’Rourke memperluas kendali pusat hingga ke desa.
Program lain yang disorot adalah Danantara, dana kekayaan negara senilai US$900 miliar yang disebut Hashim sebagai perwujudan visi Sumitro. Meski pernah diusulkan Sumitro pada 1996, The Economist menilai struktur Danantara saat ini minim pengawasan dan rawan konflik kepentingan karena berada langsung di bawah presiden dan dipimpin mantan manajer kampanye Prabowo.
Artikel itu menutup dengan pernyataan bahwa Sumitro mengutamakan keseimbangan antara menarik investasi asing dan membangun kapasitas institusi secara bertahap. Sebaliknya, Prabowo dinilai lebih memilih kebijakan populis yang memperkuat kekuasaan, tetapi berisiko mengorbankan pertumbuhan jangka panjang serta disiplin fiskal yang menjadi warisan utama sang ayah. (D/S)