Tarif Import Baru Trump ancam ekomomi global.Indonesia terancam Resesi
Solusi Berita
KARAWANG | Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang perdagangan internasional dengan menerapkan tarif impor baru yang luas terhadap berbagai barang dari seluruh dunia. Langkah ini diperkirakan akan memicu kenaikan harga barang konsumsi di AS, karena perusahaan-perusahaan Amerika yang mengandalkan barang impor kini harus menanggung beban biaya tambahan. Biaya ini hampir pasti akan dialihkan ke konsumen.
Dampak kebijakan ini pun terasa hingga ke Indonesia. Pengenaan tarif balasan (resiprokal) yang diberlakukan oleh Trump secara langsung memengaruhi daya saing ekspor Indonesia ke pasar AS. Akibatnya, sejumlah sektor industri dalam negeri tertekan, dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pun meningkat. Ini menjadi pukulan berat bagi perekonomian nasional, yang saat ini sedang berada dalam kondisi tidak stabil.
Data dari Apindo menunjukkan bahwa selama Januari–Februari 2025, sekitar 40.000 pekerja mengalami PHK, menyusul 250.000 orang yang dirumahkan sepanjang tahun sebelumnya. Menurut BPS, pada Agustus 2024, jumlah pengangguran mencapai 7,47 juta jiwa. Kondisi ini menggambarkan bahwa banyak konsumen kehilangan penghasilan dan otomatis daya beli mereka pun melemah.
Situasi diperparah dengan sejumlah polemik kebijakan pemerintah seperti program makan bergizi gratis yang menimbulkan kontroversi, larangan penjualan gas elpiji 3 kg di tingkat pengecer yang berujung tragedi, hingga kenaikan PPN menjadi 12% yang memicu gelombang unjuk rasa. Kasus lain seperti pertamax oplosan, korupsi dalam distribusi minyak goreng, dan pemangkasan anggaran di berbagai daerah turut menambah beban psikologis dan ekonomi masyarakat.
Di tengah tekanan ini, kelas menengah—yang biasanya menjadi tulang punggung konsumsi—ikut terdampak. Bantuan sosial dan subsidi mulai dikurangi, sementara harga-harga kebutuhan meningkat. Hal ini terlihat nyata saat Lebaran 2025, di mana konsumsi masyarakat cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi makro, ekonomi Indonesia juga menunjukkan gejala melemah: IHSG merosot tajam, nilai tukar rupiah terperosok ke titik terlemah, dan utang negara melonjak. Sementara itu, kebijakan ekonomi yang ada dinilai kontradiktif dengan kebutuhan publik, menimbulkan ketidakpuasan yang makin meluas.
Secara teori, tarif impor yang tinggi menyebabkan pergeseran perdagangan (trade diversion) dari pasar biaya rendah ke pasar biaya tinggi. Hal ini menyebabkan lonjakan biaya bagi eksportir Indonesia, yang berujung pada perlambatan produksi. Menurut Bhima Yudhistira dari Celios, kondisi ini dapat memicu resesi ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2025, mengingat penurunan ekspor, jatuhnya harga komoditas, lemahnya penerimaan pajak, serta konsumsi rumah tangga yang terus merosot. Bhima mencatat, setiap penurunan 1% pertumbuhan ekonomi AS dapat menyebabkan penurunan 0,08% pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Di sektor industri tekstil dan pakaian jadi, permintaan menurun drastis sementara produksi berlebih (oversupply) dikhawatirkan membanjiri pasar domestik, yang sudah dipenuhi barang impor murah. Tekanan ini membuat industri kecil dan menengah makin terdesak, dan banyak pelaku usaha memilih PHK sebagai jalan terakhir untuk bertahan.
Kondisi ini menyentuh semua lapisan masyarakat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang yang menggunakan barang dan/atau jasa, termasuk buruh, penganggur, hingga masyarakat miskin. Oleh karena itu, perlindungan terhadap konsumen harus menjadi prioritas, termasuk dalam menghadapi dampak kebijakan global seperti tarif impor Trump.
Konstitusi menjamin hak rakyat untuk hidup sejahtera, cerdas, dan terlindungi. Kebijakan pemerintah, termasuk dalam merespons dinamika global, harus berpijak pada hukum dan konstitusi. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Presiden Prabowo dalam bukunya “Paradoks Indonesia: Negara Kaya Raya, Tapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin” (2017), yang menekankan pentingnya keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada kepentingan oligarki atau kekuatan asing. (D/S)