Perlu diantisipasi perguliran dana Koperasi Merah Putih jangan menjadi polemik
Solusi Berita
KARAWANG | Kebijakan Koperasi Merah Putih (KMP) ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang besar untuk mendorong kemandirian ekonomi desa melalui akses permodalan yang luas. Namun di sisi lain, jika tidak diawasi dan dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi jerat utang yang merongrong kedaulatan finansial desa.
Pemerintah mendorong pemerataan ekonomi desa dengan meluncurkan skema KMP, yang mengharuskan alokasi 20% dana desa sebagai agunan pinjaman ke bank, berpotensi menghasilkan kredit hingga Rp400 triliun. Kebijakan ini memunculkan harapan besar, namun juga menuai kekhawatiran: apakah ini bentuk nyata pemberdayaan, atau justru menjadi “bom waktu” finansial bagi desa-desa?
Jika dibandingkan, anggaran KMP hampir dua setengah kali lebih besar dari program MBG yang penuh masalah. Ini menjadikan KMP rentan terhadap berbagai risiko: gagal bayar, defisit anggaran desa, dan ketergantungan utang jangka panjang. Sejarah koperasi Indonesia—dari masa kolonial hingga era Reformasi—seharusnya menjadi pelajaran penting bahwa keberhasilan koperasi ditentukan bukan hanya oleh besarnya dana, tetapi oleh tata kelola yang baik.
Mekanisme dan Risiko
KMP dirancang sebagai koperasi sekunder yang mengelola dana gabungan desa. Mekanismenya terdiri dari tiga tahap: pertama, desa menyisihkan 20% dana sebagai modal koperasi; kedua, dana ini dijadikan agunan untuk mendapatkan pinjaman bank dengan rasio 1:4; ketiga, dana pinjaman disalurkan untuk pembiayaan UMKM dan proyek desa produktif. Namun tanpa transparansi dan pengawasan yang kuat, potensi penyalahgunaan dan gagal bayar sangat besar. Ini mengancam stabilitas fiskal desa dan bahkan perekonomian nasional.
Risiko langsung dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Pertama, dana desa untuk kebutuhan dasar seperti air bersih atau pendidikan bisa berkurang. Kedua, jika pinjaman gagal dibayar, desa harus menanggung kerugian besar. Ketiga, besarnya anggaran tak sebanding dengan kapasitas pelaksanaannya di lapangan. Terakhir, skema ini bisa menciptakan ketergantungan pada utang, mengubah dana hibah menjadi beban antargenerasi.
Dimensi Politik dan Tuntutan Transparansi
Tak bisa dimungkiri, kebijakan ini mengandung muatan politis, menjadi instrumen untuk memenuhi janji politik pasca pemilu. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk menuntut keterbukaan. Mekanisme KMP harus dibuat transparan dan akuntabel agar dana publik tidak disalahgunakan, dan masyarakat bisa ikut mengawasi penggunaannya.
Rekomendasi: Mencegah agar Tak Jadi Beban
Agar KMP benar-benar memberi manfaat, beberapa langkah perlu dilakukan:
- Perkuat tata kelola: Bentuk lembaga pengawas independen dengan partisipasi akademisi, NGO, dan masyarakat desa.
- Tingkatkan kapasitas SDM desa: Libatkan perguruan tinggi untuk mendampingi pengelolaan koperasi secara profesional.
- Mitigasi risiko keuangan: Siapkan dana cadangan dan kurangi rasio agunan terhadap pinjaman.
- Uji coba terbatas: Implementasikan KMP secara bertahap di daerah dengan kesiapan SDM dan keuangan yang memadai.
- Libatkan masyarakat: Beri ruang bagi warga desa untuk menentukan prioritas program dan menjadi pengawas aktif.
Penutup: Menentukan Arah KMP
Koperasi Merah Putih dapat menjadi simbol kebangkitan ekonomi desa, asalkan dijalankan dengan kehati-hatian, transparansi, dan partisipasi warga. Namun, jika dibiarkan berjalan tanpa kendali, kebijakan ini berisiko menjerumuskan desa ke dalam krisis utang berkepanjangan. Pemerintah harus memilih: menjadikan KMP sebagai proyek populis jangka pendek atau membentuknya sebagai program berkelanjutan yang benar-benar berpihak pada rakyat. (D/S)