Mulai 2026, Girik Tak Lagi Berlaku: Masyarakat Diimbau Segera Ubah Status Tanah Jadi Sertifikat Hak Milik (SHM)
Solusi Berita
Seiring perkembangan peraturan pemerintah yang mengatur status tanah adat, tanah dengan bukti girik akan mengalami perubahan besar mulai 2026. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, girik yang sebelumnya berfungsi sebagai bukti penguasaan suatu bidang tanah oleh individu, hanya akan diakui sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah dan tidak berlaku sebagai bukti kepemilikan.
Aturan ini juga selaras dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang tidak mengakui girik sebagai bukti kepemilikan tanah. Sebagai langkah awal untuk memastikan kepemilikan tanah yang sah, masyarakat kini dianjurkan untuk mengubah status tanah girik mereka menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Proses ini melibatkan dua tahap, yakni di kantor kelurahan dan kantor pertanahan.
Di kantor kelurahan, pemilik girik harus menyiapkan beberapa dokumen sebagai persyaratan awal, di antaranya:
- Surat Keterangan Tidak Sengketa, yang berfungsi untuk memastikan bahwa tanah yang diajukan bebas dari sengketa dan dimiliki oleh pemohon yang sah.
- Surat Keterangan Riwayat Tanah, yang mencatat riwayat penguasaan tanah sejak tercatat di kelurahan hingga saat ini.
- Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik, mencantumkan tanggal perolehan tanah oleh pemohon.
Setelah dokumen-dokumen tersebut lengkap, pemohon akan melanjutkan proses di kantor pertanahan. Tahapan di kantor pertanahan dimulai dari pengajuan permohonan sertifikat dengan melampirkan dokumen kelurahan dan syarat formal lainnya, seperti fotokopi KTP, KK, dan PBB tahun berjalan. Kemudian, petugas melakukan pengukuran ke lokasi tanah untuk memastikan batas-batas tanah sesuai dengan dokumen yang diajukan. Hasil pengukuran ini nantinya akan disahkan dalam bentuk Surat Ukur.
Selanjutnya, proses dilanjutkan oleh Panitia A yang terdiri dari petugas BPN dan lurah setempat. Data yuridis permohonan hak tanah akan diumumkan selama 60 hari di kelurahan dan kantor BPN. Jika tidak ada keberatan dari pihak lain, BPN akan mengeluarkan SK Hak Atas Tanah, yang kemudian menjadi dasar terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM). Proses ini juga mencakup pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB), yang jumlahnya disesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan luas tanah yang dimohonkan.
Terakhir, pemohon dapat mengambil sertifikat yang telah selesai diproses dalam waktu sekitar enam bulan, dengan catatan seluruh persyaratan terpenuhi. Dengan diterbitkannya SHM, masyarakat tidak hanya memiliki jaminan kepemilikan yang sah atas tanahnya, tetapi juga mengurangi potensi sengketa di masa depan.(P/A)