KPK Bongkar Dugaan Korupsi EDC BRI, Kerugian Negara Capai Rp 744 Miliar
Solusi Berita
KARAWANG | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi dalam proyek pengadaan electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk pada periode 2020–2024. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 744,54 miliar dari total nilai pengadaan sebesar Rp 2,1 triliun.
“Kerugiannya sekitar 33 persen dari nilai proyek,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (9/7/2025).
Tiga Pejabat dan Sejumlah Vendor Diduga Terlibat
KPK menyebut sejumlah pihak menerima keuntungan tidak sah dari proyek ini. Salah satunya mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto, yang menerima hadiah dari Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi, Elvizar, berupa sepeda dan dua ekor kuda senilai total Rp 525 juta.
Selain itu, Dedi Sunardi, SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI, juga menerima sepeda merek Cannondale senilai Rp 60 juta dari Elvizar. Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi, Rudy Suprayudi Kartadidjaja, diketahui menerima uang Rp 19,72 miliar dari pihak PT Verifone Indonesia.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima tersangka: Catur Budi Harto, Indra Utoyo, Dedi Sunardi, Elvizar, dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja.
Skema Pengadaan Bermasalah
Asep menjelaskan, kasus ini bermula dari pertemuan antara Elvizar, Catur, dan Indra Utoyo pada 2019, yang menyepakati PT Pasifik Cipta Solusi sebagai vendor utama proyek EDC. Elvizar menggandeng PT Bringin Inti Teknologi milik Rudy. Mereka membawa dua merek EDC: Sunmi P1 4G dan Verifone.
Meski terdapat vendor lain, BRI hanya menguji kelayakan teknis (proof of concept / POC) terhadap dua merek tersebut, tanpa proses lelang terbuka. POC dilakukan secara tertutup, sehingga vendor lain tidak memiliki kesempatan bersaing.
Manipulasi Syarat Teknis dan Harga
Atas permintaan Elvizar, Catur memerintahkan Dedi Sunardi untuk bertemu dengan Elvizar dan Rudy guna mengubah syarat teknis yang menguntungkan dua perusahaan tersebut. Kriteria uji teknis dimodifikasi agar hanya PT Pasifik Cipta Solusi dan PT Bringin Inti Teknologi yang bisa memenuhi.
Selain itu, harga perkiraan sendiri (HPS) disusun berdasarkan data dari vendor, bukan dari harga principal resmi, yang mengarah pada potensi penggelembungan harga.
Alokasi Anggaran Triliunan Rupiah
Pada 4 November 2020, tiga perusahaan diumumkan sebagai pemenang proyek FMS EDC: PT Bringin Inti Teknologi, PT Pasifik Cipta Solusi, dan PT Prima Vista Solusi. BRI mengalokasikan Rp 581,79 miliar untuk kontrak tiga tahun menggunakan anggaran GL Managed Service IT. Pembayaran dilakukan bertahap: Rp 29,73 miliar (2021), Rp 176,43 miliar (2022), dan Rp 418,18 miliar (2023).
Kontrak diperpanjang pada 2023 dengan anggaran Rp 3,1 triliun untuk 2024–2026. Pada 2024, pembayaran awal sebesar Rp 634,2 miliar telah dilakukan.
Total pembayaran hingga 2024 mencapai Rp 1,25 triliun untuk 200.067 unit EDC. Rinciannya:
- PT Bringin Inti Teknologi: 85.195 unit senilai Rp 628,78 miliar
- PT Pasifik Cipta Solusi: 100.244 unit senilai Rp 557,19 miliar
- PT Prima Vista Solusi: 14.628 unit senilai Rp 72,57 miliar
Namun, ketiga perusahaan tersebut diketahui mensubkontrakkan seluruh pekerjaan ke pihak lain tanpa izin resmi dari BRI.
Skema Beli Putus dan Kerugian Negara
Selain sistem sewa, BRI juga menerapkan skema beli putus dengan dana investasi TI. Total 346.838 unit perangkat EDC dibeli dengan nilai anggaran Rp 942,79 miliar. Namun, KPK belum mengungkap perusahaan mana yang terlibat dalam skema ini.
Kerugian negara dalam proyek sewa diperkirakan Rp 503,47 miliar, sedangkan dari proyek beli putus (BRILink) sekitar Rp 241,06 miliar. Total dugaan kerugian negara mencapai Rp 744,54 miliar.
“Perhitungan kerugian ini berdasarkan metode real cost, yaitu selisih antara harga seharusnya dari principal dan harga yang dibayarkan,” jelas Asep. (D/S)