Ekonomi RI Tumbuh Melambat di Awal 2025, CELIOS Soroti Lemahnya Daya Beli dan Efisiensi Anggaran
Solusi Berita
KARAWANG | Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2025 tumbuh sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year), melambat dibandingkan kuartal IV tahun 2024 yang mencapai 5,11 persen.
“Jika dibandingkan dengan kuartal pertama tahun lalu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,87 persen,” kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/5/2025). Ia menambahkan bahwa secara kuartalan (quarter-to-quarter), ekonomi justru terkontraksi sebesar 0,98 persen—sebuah pola musiman yang kerap terjadi pada awal tahun.
Menurut Amalia, penurunan ini terutama dipicu oleh berkurangnya konsumsi pemerintah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menanggapi hal tersebut, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengeluarkan analisis kritis. Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menyebutkan bahwa persoalan daya beli masyarakat masih menjadi faktor utama perlambatan ekonomi.
“Permasalahan daya beli yang belum teratasi menjadi penyebab utama pertumbuhan yang melambat,” jelas Huda. Ia merujuk pada indeks keyakinan konsumen yang menunjukkan penurunan sejak Januari hingga Maret 2025. Bahkan, momentum Idul Fitri tahun ini tidak mampu mendorong konsumsi secara signifikan, berbeda dengan tahun 2023 ketika konsumsi rumah tangga tumbuh 5,22 persen berkat mudik lebaran.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, memperingatkan adanya risiko resesi teknikal pada kuartal mendatang. “Pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun ini minus 0,98 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Ini sinyal yang serius,” tegas Bhima.
Ia menambahkan bahwa tanda-tanda resesi bisa memicu industri mengurangi pembelian bahan baku dan melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja. Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang berada di bawah level ekspansi pada April 2025 menjadi indikator tambahan yang perlu diwaspadai.
Bhima juga mengkritik lemahnya perlindungan pemerintah terhadap kelompok menengah, rentan, dan miskin. “Pemerintah belum serius melindungi kelompok rentan. Kita butuh jaring pengaman sosial yang lebih kokoh, terutama bagi pekerja informal yang jumlahnya terus bertambah akibat PHK di sektor formal,” ujarnya.
CELIOS juga menyoroti strategi investasi pemerintah. Mereka menilai pemerintah terlalu fokus pada sektor padat modal berbasis komoditas, sementara investasi padat karya dan ramah lingkungan justru kurang diperhatikan.
“Ekonomi hijau seperti energi terbarukan berbasis komunitas dan industri smart grid seharusnya menjadi prioritas untuk mendorong pertumbuhan yang tahan banting terhadap krisis global,” kata Bhima.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai kebijakan efisiensi anggaran pemerintah mulai berdampak negatif. Pertumbuhan belanja pemerintah yang terkontraksi -1,38 persen yoy dinilai menghambat laju ekonomi, terutama di daerah.
“Pemotongan transfer ke daerah membuat anggaran infrastruktur dan program sosial menjadi terbatas, padahal APBD adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja,” ujarnya. Ia juga menyesalkan realokasi dana efisiensi ke program makan bersama gratis (MBG), yang dianggap belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Media menutup pernyataannya dengan menyebut banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang tidak bisa beroperasi karena kekurangan dana, dan pendamping desa yang dirumahkan, padahal keduanya berperan penting dalam penggerak ekonomi riil di daerah. (D/S)