Aparatur Desa Pangulah Selatan Diduga Terlibat Politik Praktis, Kepala Desa Membantah
Solusi Berita
Karawang – Meskipun sudah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, larangan bagi aparatur desa untuk terlibat dalam politik praktis tampaknya diabaikan oleh beberapa oknum perangkat Desa Pangulah Selatan, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi onediginews.com, seorang kepala dusun berinisial T dan seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berinisial M diduga terlibat sebagai anggota tim kampanye pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Karawang nomor urut 2. Keduanya terlihat dalam foto yang memperlihatkan mereka duduk di barisan paling depan bersama orang-orang yang mengenakan atribut partai dan pasangan calon, di sebuah rumah yang dipasangi spanduk bertuliskan “Rumah Pemenangan Aep-Maslani.”
Larangan aparatur desa terlibat politik praktis sebenarnya telah diatur dalam Pasal 29 huruf (g) dan (j) serta Pasal 51 huruf (g) dan (j) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 280, 282, dan 494 juga melarang kepala desa dan perangkat desa berpolitik praktis, dengan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Namun, meskipun aturan sudah jelas, beberapa oknum perangkat desa tampaknya masih terlibat. Dalam foto tersebut, T dan M terlihat berada di rumah Ketua RT 001/005 yang dihiasi plat bertuliskan logo Pemda Karawang.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini melalui pesan WhatsApp pada Selasa (1/10/2024), Kepala Desa Pangulah Selatan, Deni Kurniawan, membantah keterlibatan kedua perangkatnya dalam politik praktis. Menurutnya, foto tersebut diambil sekitar satu minggu yang lalu dan tidak bermaksud menunjukkan keterlibatan mereka dalam kampanye.
“Itu foto lama, mereka diundang di rumah RT untuk acara makan bersama, tidak tahu kalau ternyata itu adalah kumpulan tim pemenangan,” kata Deni.
Ia juga menjelaskan bahwa kedua perangkat desa tersebut kemungkinan besar terjebak dalam situasi tersebut. “Mereka tidak tahu, dan katanya tiba-tiba ada pemasangan gambar, mereka merasa tidak enak dengan warga. Saya sudah menegur mereka,” tambahnya.
Deni menutup dengan meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi. “Atas nama pemerintah desa, saya mohon maaf atas kegaduhan ini, dan sudah saya tegur semuanya,” pungkasnya.
Kasus ini menyoroti tantangan dalam menjaga netralitas aparatur desa di tengah tahun politik, di mana netralitas menjadi kunci untuk menjaga integritas pelayanan kepada masyarakat dan menghindari konflik kepentingan.(P/A)