Kenaikan PBB-P2 Picu Protes di Sejumlah Daerah, Pemerintah Pusat Bantah Pemotongan Dana Jadi Penyebab
Solusi Berita
KARAWANG | Setelah kericuhan di Pati, Jawa Tengah, aksi protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) menjalar ke berbagai daerah. Kenaikan ini dinilai sejumlah ekonom sebagai imbas pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Namun, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membantah klaim tersebut dan menegaskan kebijakan pajak merupakan kewenangan masing-masing daerah.
Aksi Penolakan di Berbagai Daerah
Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mahasiswa dan warga berunjuk rasa menolak kenaikan pajak yang disebut mencapai 200–300%. Beberapa warga mengaku tagihan PBB-P2 mereka naik tiga kali lipat tanpa pemberitahuan. Pemkab Bone mengakui ada kenaikan, namun membantah persentasenya sebesar itu, dan menyebut penyesuaian dilakukan setelah 14 tahun NJOP tak diperbarui.
Di Kota Cirebon, Jawa Barat, Paguyuban Pelangi Cirebon mengklaim kenaikan PBB-P2 berkisar 150% hingga 1.000%. Ada warga yang mengaku tagihan melonjak dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta, sebelum mendapat keringanan. Wali Kota membantah kenaikan setinggi itu dan berjanji mengkaji ulang tarif.
Di Jombang, Jawa Timur, warga melaporkan kenaikan hingga 1.200%. Bupati berdalih kebijakan tersebut berasal dari pemerintahan sebelumnya, namun akan membentuk tim khusus untuk menangani keluhan.
Berbeda, Bupati Semarang, Jawa Tengah, memutuskan membatalkan kenaikan NJOP setelah menerima arahan Kemendagri. Warga yang sudah membayar akan mendapatkan pengembalian selisih.
Analisis Penyebab Kenaikan
Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman menyebut banyak daerah mengandalkan TKD, sehingga pemotongan Rp50,29 triliun tahun ini mendorong mereka mencari sumber pendapatan lain, termasuk menaikkan pajak. Ia menilai masih ada alternatif selain menaikkan PBB-P2, seperti digitalisasi pembayaran, perbaikan basis data wajib pajak, optimalisasi aset daerah, hingga peningkatan investasi.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky melihat fenomena ini sebagai tanda ekonomi nasional sedang tertekan, diperburuk oleh beban utang jatuh tempo Rp2.827 triliun pada 2025–2027. Ia mengkritik pemerintah yang menurutnya mengambil kebijakan “penting tapi tidak genting” dan mendesak evaluasi terhadap kebijakan efisiensi anggaran.
Meski begitu, Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan kembali bahwa kenaikan PBB-P2 bukan akibat berkurangnya dana dari pusat, melainkan murni kebijakan pemerintah daerah masing-masing. (D/S)