Aksi Tolak RUU TNI: Puluhan Terluka, Ratusan Ditangkap, Jurnalis Ikut Jadi Sasaran
Solusi Berita
KARAWANG | Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan bahwa sebanyak 83 orang mengalami luka-luka dan 161 lainnya ditangkap dalam rangkaian aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang berlangsung dalam dua gelombang, yakni pada 15–20 Maret dan 21–28 Maret 2025. Tak hanya demonstran, TAUD juga mencatat sebanyak 18 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput aksi.
“Korban kekerasan tidak hanya berasal dari peserta aksi, tetapi juga dari kalangan jurnalis yang sedang bertugas,” ujar Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi YLBHI dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2025).
Menurut Zainal, sebagian besar korban harus menanggung sendiri biaya pengobatan, meski ada juga yang terbantu melalui dukungan masyarakat sipil. Namun, jumlahnya masih sangat terbatas.
Anggota Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza, menambahkan bahwa pola kekerasan semacam ini bukan hal baru. Ia menyebut pihaknya sudah beberapa kali mengadvokasi kasus serupa dan mendorong agar aparat yang terlibat diproses secara hukum.
“Sejak 2019 hingga 2024, kami telah menyerahkan sejumlah laporan dan data pemantauan kepada Komnas HAM dan Kompolnas. Sayangnya, belum ada tindak lanjut yang signifikan,” katanya.
KontraS dan YLBHI berencana mendorong berbagai lembaga negara, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan Kompolnas untuk menyelidiki lebih lanjut kasus ini. Mereka juga sedang mempertimbangkan langkah hukum berupa litigasi strategis guna menekan aparat dan institusi negara. “Saatnya kita bersikap tegas: hentikan kekerasan terhadap mahasiswa dan rakyat yang menyuarakan pendapat,” tegas Zainal.
Selain itu, KontraS turut menyoroti kehadiran aparat berpakaian preman dalam aksi, bahkan beberapa di antaranya membawa senjata api. Hal ini dinilai memicu ketegangan dan kekacauan di lapangan. Yahya menyebut, dalam sejumlah kasus, penangkapan dilakukan setelah aksi berakhir, tanpa prosedur yang jelas dan tanpa surat penangkapan.
Ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk maladministrasi dan pelanggaran prosedur hukum. “Kami akan membawa temuan ini ke Ombudsman RI untuk diuji sebagai bentuk kegagalan pelayanan publik,” tambah Yahya.
Aksi-aksi tersebut merupakan reaksi terhadap pembahasan RUU TNI yang dianggap berpotensi menghidupkan kembali peran dwifungsi militer sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Kendati menuai penolakan luas dari masyarakat sipil dan mahasiswa, DPR tetap melanjutkan pembahasan dan mengesahkan RUU tersebut dalam rapat paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. (D/S)